Dewi edisi Mei 2008
Petualangan Komedi Hitam
Mira Lesmana
Menurut saya, hidup ini sangat membosankan kalau tak ada tantangan!
Di tengah kesibukannya mempersiapkan syuting film Laskar Pelang (LP), Mira Lesmana meluangkan waktunya. Hari masih pagi, ketika ia sudah berada di ruang kerjanya. Wajahnya terlihat segar, meski tanpa polesan. Mungkin karena tempaan bias sinar mentari yang jatuh ke wajahnya melalui kisi-kisi jendela. Ia tampak membereskan berkas-berkas, buku-buku, dan sisa-sisa abu rokok yang tampak berserakan di meja. “Pernah ke kantor Nia? Ya begini ini kondisinya. Tahu sendirilah orang film,”katanya sambil tertawa, menyebut nama Nia Dinata, berusaha memberi pemakluman.
“Saya pernah membereskan semua barang sampai sangat rapi. Eh, banyak yang protes. Apa-apaan sih, kayak kantor saja,”Mira menirukan komentar Nicolas Saputra. Seolah seperti menemukan angin segar, sejak saat itu, “gaya” kantornya ya seperti sekarang ini. Semua terlihat “alami”, tidak dibuat-buat, banyak buku atau kertas yang berserakan. “Akhirnya, memang kenyamanan jauh lebih penting.. Yah, setahun sekali lah, berberes bener-bener. Percuma sering-sering. Ha ha ha…”
Tak beda dengan gaya ruang kerjanya yang selalu hangat, seperti itu juga suasana yang mengemuka saat berbincang dengan Mira. Ia terbuka, dan spontan. Segala hal selalu dilihatnya dengan kegembiraan. Ini yang membuat pembicaraan, yang sangat terbatas waktunya itu, jadi lebih menyenangkan. Menggembirakan. Penuh optimisme. Seperti harapan dia terhadap perfilman di Indonesia.
Ingin menjadi Punjabi film Indonesia? “Tidak mungkin aku yang terlalu independen ini menggantikan posisi Raam Punjabi. Tetapi yang saya harapkan itu adalah membuat kelompok independen yang cukup besar sehingga menyaingi posisinya,”ungkap Mira yang memiliki garis pandangan yang berbeda dengan kelompok Punjabi yang glamour, karpet merah, kuantitas dan hiburan. “Kalau aku lebih bagaimana merayakan keberbedaan, multikultural, inovasi dan mencari sesuatu yang baru, mementingkan kualitas.”
Idealisme semacam ini memang perlu ditumbuhkan, katanya. Film sebagai salah satu strategi kebudayaan harus dibombardir dengan keberagaman tema supaya masyarakat punya banyak pilihan. Karena itulah ia memilih untuk menjadi independen. “Menjadi independen itu menyenangkan sekali. Tidak ada tekanan. Bebas berkreasi untuk memutuskan apa saja. Beda dengan mereka tidak bermasalah dengan kapital. Kalau kita-kita ini harus bekerja keras mencari investor, membuat skema bisnis dari film kita supaya menarik. Banyak tantangan. Menurut saya, hidup akan sangat membosankan kalau tak ada tantangan!”
Film dengan ide-ide besar tidak selalu diterjemahkan sebagai sebuah film epik yang berbiaya besar. “Kita bisa juga meniru film Iran yang sederhana, tapi gagasannya luar biasa,”tukas Mira yang dengan tangan dinginnya berhasil memopulerkan film-film bergagasan besar seperti Gie. Sebelumnya, ia juga dikenal karena berhasil membangkitkan mati suri film Indonesia dengan film Ada Apa dengan Cinta? (AADC?) ataupun Petualangan Sherina.
Namun tidak serta merta atas tujuan komersial bila film garapan Mira selama ini senantiasa dihadirkan aktor atau artis ternama. “Menurut saya, aktor itu bagian penting dari sebuah film. Dia yang menyampaikan pesan-pesan melalui penokohannya. Saya sendiri tidak terlalu percaya dengan sistem bintang, tetapi bahwa aktor harus punya karisma, harus kena dengan masyarakat yang menontonnya,”elaknya. Dialah yang “menemukan” Nicolas Saputra dan Dian Sastro, dua figur yang kini menjadi ikon film Indonesia. “Aktor haruslah aktor yang baik. Bila dia ternyata memiliki nilai komersial, mengapa tidak?,”katanya.
Kini, ia tengah mencari sosok baru yang memainkan film LP. “Saya pikir, saat ini masyarakat Indonesia akan kebanggaannya sebagai manusia Indonesia. LP adalah film yang yang mewujudkan kerinduan itu. LP membuat kita berpikir. Ini adalah salah satu ciri film-film yang baik,”tukas Mira yang kini bolak-balik Belitung-Jakarta untuk mempertajam risetnya.
Tapi tahukah Anda bahwa di balik ideologi besarnya dalam pembuatan LP, tersimpan kisah yang sentimentil buat Mira pribadi? “Saya dalam kondisi terpuruk saat itu. Uang yang saya tabung bertahun-tahun untuk sekolah anak saya, lenyap, karena saya investasikan. Ternyata saya ditipu. Uang saya hilang…,”ungkapnya. Suaranya sedikit serak. Terasa bahwa ia masih terpukul karenanya. “Saya bukan orang yang secara ekonomi bermewah-mewah. Saya hanyalah pekerja film independen, suami saya aktor. Kepercayaan saya dibawa pergi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” ia lalu terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba saja, ia tertawa keras-keras. “Ha ha ha…”
“Kebetulan saya sedang baca buku LP. Tiba-tiba saja saya langsung tersuntik untuk tidak berlama-lama menyesali. Muncul rasa bangga, kemana orang-orang seperti ini? Ah, saya harus bisa seperti mereka, walaupun umur saya sudah segini, tapi saya tidak boleh menyerah, patah semangat. Ha ha ha..”lagi-lagi wanita kelahiran 8 Agustus 1964 tertawa lepas, walau mungkin terdengar pahit. “Karena itu, saya bertekad untuk menularkan semangat ini kepada masyarakat yang lebih luas.”
Lalu ia mulai berandai-andai, “Seandainya saya memfilmkan diri saya sendiri, mungkin saya akan berkisah tentang sebuah black comedy. Kurang lebih bercerita tentang ironi-ironi kehidupan ini yang bisa kita tertawakan, tapi pada saat yang sama tergambarkan optimisme yang tinggi. Bila ini terjadi, dia akan memulai dari masa kecilnya. “Saat itu, ayah mau pentas di TIM. Sponsor tidak cukup. Dananya kurang. Dan pagi-pagi, saya melihat cincin kawin ayah sudah tak dipakainya lagi. Ketika kutanya, kemana cincin kawinnya. Ayah saya tertawa. Ha ha ha.. dijual..Supaya bisa bikin konser. Ha ha ha.. Kalau dibilang tragis ya bagaimana, wong dianya tertawa?,” Mira mengingat sebuah kenangan yang melekat dari sebuah pembicaraan di suatu pagi yang cerah di meja makan rumah mereka. Ayahnya, Jack Lesmana, musisi kondang Indonesia masa itu.
“Kadang-kadang, saya merasakan hidup saya seperti itu. Setiap film yang kita buat pasti ada ada yang bisa kita tertawakan walaupun itu pahit,”ia lalu mengisahkan bagainmana ia mengamami masalah serupa dengan ayahnya pada saat menggarap film Tiga Hari untuk Selamanya. “Anak-anak sudah panik, tapi saya bilang sabar.. meski sebenarnya juga nggak sabar karena syuting harus dimulai dalam beberapa hari lagi. Investornya mundur. Untuk pertama kalinya, dalam 3 hari sebelum hari syuting, ini gila loh, saya dapatkan investor baru,”wajahnya bersinar terang. Seolah habis melakukan sebuah penaklukan, penuh kemenangan. “Alhamdulilah, insting saya benar,”
Loh mengandalkan insting? Mira lagi-lagi tertawa. “Dulu itu saya jago bikin goal-goal. Seusai kuliah, saya akan masuk ke dunia advertising dalam kurun 5-10 tahun. Setelah itu, saya akan terjun ke film selama 5-10 tahun. Itu semua sudah terjadi. Tapi dulu, saya punya rencana pensiun di usia 35 tahun. Tapi yang terakhir ini meleset. Pikiran saya dulu, pada usia 35 saya sudah kaya, udah stabil, saya traveling saja. Ha ha ha.. ternyata saya belum mau pindah dari film. Setelah saya sadar, ternyata bikin film itu bagian dari traveling.”
Bagi Mira yang dibesarkan dalam sebuah keluarga musisi besar, tentu sangat menginginkan musik menjadi panggilan jiwanya. Ia mengakui betapa terkejutnya dia-yang sudah les piano selama bertahun-tahun– saat mendapati adiknya, Indra Lesmana, yang tanpa les piano sudah dapat memainkan musik. Kenyataan ini memang memukul Mira-barangkali karena keegoisannya, ia lalu memutuskan untuk menutup dirinya dari dunia musik. Dia lantas bergulat mencari pegangan, seolah mencari jati diri, di balik bayang-bayang nama besar keluarganya. Baru di usia 17 tahun dia merasa bahwa film adalah panggilan hidupnya. “Saya ingat ayah pernah mengajak saya ke studio film. Dia menggarap music score,”ia mengenang.
Memang sulit memisahkan musik dari Mira. Karena itu, di seluruh film-film yang digarapnya, musik menjadi bagian yang sangat penting. “Bagaimana mau lepas, sejak remaja saya sudah membuat lirik lagu, ikut lihat ayah manggung, bagi-bagiin kue untuk musisi, melihat latihan, saya merasa sudah menjadi bagian musik itu sendiri,” katanya, seolah ingin menegaskan keberadaannya. Belakangan ini, ia mulai merambah usaha di bidang musik. “Sekarang aku juga sudah jadi produser musik. Walau kecil-kecilan,” ia tertawa.
“Salah satunya lagunya Jablai. Aku nggak peduli waktu denger itu, aku bilang lagunya asyik banget. Eh, tahunya malah meledak..,”tukasnya bangga. Saat itu juga, ia mengirim sms ke Indra, adiknya. “Nih Ndra, meskipun gue nggak jadi pemusik, gue bisa memproduseri musik,”nadanya terlihat bangga. “Dengan membuat album musik, saya berpikir, inilah jalan saya yang saya bisa lakukan untuk musik.” Sekarang ini, Mira kembali membuat album baru Garasi 2, dikembangkan dari film Garasi yang pernah diproduserinya. “Kali ini, aku bikin album musik di luar film,”lanjutnya.
Ke depan, ia ingin melanjutkan lagi mewujudkan obsesinya di film, menjadi dosen dan membuat buku-buku film. Yang tidak akan bakal disentuh, film horor. Dengan catatan bahwa ia baru saja menjadi co produser untuk film Titisan Naya, bersama Riri Reza. “Ternyata saya nggak terlalu menikmati membuat film horor. Mungkin karena bukan genre yang saya sukai. Menggambarkan setan itu ternyata nggak menyenangkan buat saya. Tapi mau coba,” katanya. Ceritanya? “Rie.. Naya itu ceritanya gimana ya..,”ia justru bertanya pada Riri Reza.
“Yang penting bagi saya adalah membuat film yang membuat saya cinta,”tukas Mira yang senantiasa mengangkat drama realis dalam film-filmnya. “Aku adalah orang paling beruntung. Hidup di tengah keluarga yang mencintai saya, bekerja di bidang yang sangat aku cintai, inilah surganya kehidupan dalam dunia. Bahkan saya bisa merekam momen indah itu didalam film-film saya.”Mira menggambarkan bagaimana ia menggarap AADC dengan harapan untuk mengingatkan kembali akan indahnya cinta pertama. “Pokoknya cinta-cinta deh…,”kata istri Mathias Muchus dan ibu dari Galih Galinggis dan Kafka Keandra.
Ia juga akan mewujudkan keinginan masa kecilnya untuk mengangkat film silat. “Ah, saya kan penggemar komik silat. Ada Ganes Th, Panji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu.. seru banget. Silat itu klasik, ceritanya tentang pengkhianatan, fair play, tapi dikemas dengan kisah cinta yang menarik. Aaahh cinta lagi,”kata Mira yang sejak kecil terobsesi menjadi jago silat, menguasai tenaga dalam, dan bisa berjalan di atas air. Barangkali karena itu dia menuangkan mimpi-mimpinya lagi dalam film yang akan diproduserinya itu.
Rasanya hidup ini begitu indah di mata Mira. Segala hal yang diinginkannya, dipikirkannya, diwujudkan dalam film yang digarapnya. Seperti mengambil potongan puisi Goenawan Mohamad, ia membingkai sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi. Hmmm…. (Rustika Herlambang)
Busana: Sally Koeswanto, Make up Artist: Adhi Buwana, Stylist: Dany David. Fotografer: Irvan Arryawan. Lokasi: Miles Production
Katanya, dia masih punya mimpi. Ingin punya rumah di atas bukit. Depannya pantai. Tak usah besar-besar, yang penting pemandangannya dasyat. Kalau bisa di wilayah dekat gili trawangan, Lombok, di tempat pertemuan antara bukit dan pantai yang menyisakan satu pemandangan senja yang indah. Dengan pantai yang keemasan, lengkap dengan lokan-lokannya yang masih segar. Nah, apakah dia akan mewujudkannya dulu di dalam karya filmnya? Barangkali.
Dear Mbak Rustika,
Saya ingin sekali memberikan ide cerita saya ke Mbak Mira Lesmana langsung.
Ide cerita yang menurut saya menarik untuk dijadikan drama musikal dan disutradarai Mbak Mira.
Bagaimana caranya ya?
Terimakasih sebelumnya
aisha