Kontribusi Untuk Negeri

Kontribusi Untuk Negeri
Dewi edisi April 2008
Dia selalu ingin memberikan yang terbaik dari dirinya sebagai manusia, untuk manusia
Sedari awal, kue mayang, putu mayang dan serabi itu sudah menggoda mata. Warna baby pink, hijau muda, dan putih dalam kombinasi cantik tertata rapi di baki, seperti sajian prasmanan restoran Indonesia bintang lima. “Ini home made loh.. saya dan asisten di rumah yang membuatnya,”Christine Barki tiba-tiba saja memecah imajinasi. “Silakan dicoba,” ia memberikan piring-piring kertasnya, satu persatu, kepada seluruh tim dewi. Rasanya pun hmmmm.. nikmat!
“Saya selalu membawa kue-kue tradisional Indonesia, terutama bila ada acara kumpul seluruh karyawan setiap bulan. Kami bisa sharing apa saja,”Christine, Presiden Direktur PT Metropolitan Retailmart yang membawahi Metro Departement Store memulai cerita. Untuk itu, di tengah tumpukan kesibukan, ia selalu menyempatkan diri untuk berburu kue-kue tradisional di pasar. Bila ada ada waktu, ia membuatnya sendiri.
Siang itu, Christine tampil muda dan segar. Atasan kaus berwarna hijau muda-persis warna kuenya-berpadu dengan rok lebar bunga-bunga membuat wajahnya nampak lebih cerah dari biasanya. Ia terlihat sibuk dalam persiapan acara Dine and Dance untuk seluruh karyawan yang diselenggarakan di Balrooom Hotel Mulia, Jakarta, keesokan harinya. “Saya deg-degan..Soalnya besok hari spesial buat anak-anak. Temanya Hollywood. Semua harus harus dandan seistimewa mungkin dengan gaun terbaik mereka. Saya sewa usher untuk mengantarkan mereka masing-masing melewati red carpet, difoto satu persatu. Ah, ini seperti membangkitkan mimpi untuk mereka,” beber Christine penuh semangat.
Berbeda dengan family outbond yang selalu diselenggarakan setiap tahun, kali ini ia ingin mengajak karyawannya merasakan dunia gaya hidup glamour -sesuai pangsa pasar mereka. “Bila selama ini mereka meng-entertain orang, kini saatnya kami meng-entertain mereka. Firasat saya – entah benar atau salah- kalau kita memberi dan memperlakukan mereka dengan baik, mereka juga akan berbuat hal yang sama”.
Prinsip inilah yang dipegang Christine selama 15 tahun memimpin Metro. Di tengah persaingan ketat di antara mal dan departement store di Indonesia yang over supply jelas perlu strategi khusus. Acara di atas adalah salah satu strateginya untuk membangun loyalitas pada perusahaan. “Membuka toko itu mudah. Tapi maintenance itu sulit karena kita melibatkan ribuan karyawan. Satu gerai tutup, mereka kehilangan pekerjaan dan ini berantai pada keluarganya. Karena itu, saya cenderung sangat konservatif dan hati-hati untuk menentukan langkah,”kata Christine yang berharap bisa membuka Metro di second city. “It’s my dream. It’s challenge.”
Keinginan itu seolah menegaskan eksistensinya pada dunia retail Indonesia. Padahal, sebelum bergabung dengan Metro, tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk kembali ke Indonesia. Kala itu, ia telah mengisi posisi bergengsi di industri perhotelan di Amerika, sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya. “Waktu itu, hotel tempat saya bekerja belum dibuka. Kemudian Grup Rajawali mengajak saya untuk mengembangkan Metro,”ia mengenang. Christine meraih gelar MBA dari University of Oklahoma dan Honorary Doctor in Marketing di University of California.
Dia tak mengiyakan segera. Sampai hatinya tersentuh ketika menghadiri sebuah acara pameran dagang internasional.”Saya sedih ketika disebutkan buah manggis dan nangka berasal dari Thailand. Lalu mana Indonesia? Sementara saat itu saya berkeliling dunia memberikan asistensi, audit dan membuat sistem. Kenapa saya tidak berbuat sesuatu untuk Indonesia?”
Itulah jalan awal dia kembali ke tanah air. Tidak langsung berjalan mulus, ia mengakui. “Salah satu kendala yang bikin aku kesel banget adalah human beeing. Mereka nggak punya kemauan untuk disiplin. Ini yang nggak ada di dunia lain kecuali di Indonesia, meski itu di negara berkembang seperti India atau China,” kekesalan meruak di wajahnya. “Untuk mengatasinya, pertama, harus to be firm. Bukan berarti kejam, tapi untuk memastikan bahwa semua tugas dijalankan. Kedua, saya harus memberikan contoh yang bagus. Kalau ini tidak diterapkan dari atas, lalu ngapain?”
Kesadaran berbangsa adalah hal lain yang meresahkannya. Ia -yang banyak bergaul dengan berbagai bangsa di dunia- merasakan bagaimana kesadaran berbangsa itu kurang ditumbuhkan di Indonesia. Karena itu, meski Metro berbendera Singapura, ia selalu menyelenggarakan upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap bulan. “Awalnya, they hate me!. Lalu saya bilang, kalau bukan kita yang menghormati bendera kita, siapa lagi?”, katanya tegas. Lalu ia memeragakan bagaimana karyawannya melakukan upacara dengan malas-malasan. “Lihat nih, sekarang mereka sudah begini,” ia menunjukkan foto-foto upacara bendera yang diletakkan dalam sebuah album bersamak kulit. “Biar orang bilang saya gila, tapi saya enjoy saja..”
Begitulah Christine. Meskipun ia ketat dalam berdisiplin, perhatian terhadap karyawan dan keluarganya tak terbantahkan. Dia seringkali memberikan kejutan-kejutan berupa motivational trip. “Saya ingat sekali ekspresi mereka ketika akhirnya sampai di puncak Bromo melihat matahari terbit di langit, yang aduh, indah sekali pemandangannya. Lalu saya bilang ke mereka, nothing comes free. Kalau kamu mau dapatkan semua ini, kamu harus bekerja keras.” Ia tersenyum. “Saya nggak melihat mereka dari segi bisnis saja. Saya juga ingin mereka berpikir out of the box.”
Barangkali pikirannya ini yang pada akhirnya menggoda Christine, yang beragama Katolik, saat mengembangkan event Jakarta-Kuala Lumpur Musleem Fashion Week. “Tujuan saya mengkampanyekan busana muslim, bukan untuk saya akan memakai busana muslim. Muslim akan very fashionable kalau diinterpretasikan dengan benar, jangan dikaitkan dengan agama. Itu yang saya harapkan dapat dimengerti. Fashion is fashion. Religion is religion. Muslim is elegant. Inilah tujuan utamanya.” Ia berkata dengan sangat cepat. Secepat ia berjalan dengan langkah-langkah panjangnya. Secepat ia berpikir tentang sesuatu hal dan memutuskannya.
Demikian pula ketika ia membawa jiwa idealisnya ke dalam proyek Corporate Social Responsibility (CSR) yang bergerak dalam kepedulian terhadap masa depan anak-anak dan lingkungan. “Anak-anak dan pendidikan adalah hal mendasar. Kalau mereka baca, berpengetahuan, maka masa depan bangsa ini cerah,”tukasnya sembari mempromosikan buku Keep save Our Ocean yang dibuat dalam 3 bahasa itu: daerah, Indonesia dan Inggris. Ke depan, dia masih terus mengembangkan proyek ini hingga ke berbagai pelosok negeri.
Sebelumnya dia pernah membantu anak-anak pembawa payung di depan tokonya. Ia mensubsidi seluruh keperluan sekolah, dan mereka diminta untuk membuat prestasi bagus. Dia juga memberikan pekerjaan-seolah-olah mereka bekerja selama 2 jam di Metro-sambil disiapkan makan siang bergizi. “Tapi, ujung-ujungnya, mereka juga gak punya pilihan lagi kecuali harus tetap bekerja, untuk keluarganya. Sekolah harus berhenti.” ia tampak begitu prihatin dan terpukul. Kemiskinan selalu memakan anak-anaknya sendiri.
Kenyataan ini barangkali jauh dari dirinya yang selama ini dibesarkan dalam lingkungan keluarga berkecukupan. “Meski demikian, Ayah selalu menanamkan kepada kita agar jangan berharap apapun dengan pemberian orang tua. Meski kita chinese, anak lelaki dan perempuan sama. Nasehatnya: study as high you can, be independent, master your English. As Chinese able to understand your language. Yang terpenting plan what you want,” ia menggambarkan ayahnya, pemilik sebuah hotel di Bandung yang mendidiknya dengan ketat. Sementara itu, ia mengingat ibunya selalu ada untuk anak-anaknya. “Segala sesuatu kami pasti bicarakan dengan ibu.”
Saat ini, dia sudah menjadi ibu untuk ketiga anaknya: Michael (26), Matthew (17) dan Michelle (10). Di tengah kesibukannya, ia percaya bahwa kualitas dan kepercayaan adalah hal yang harus ditanamkan dalam mendidik anak-anaknya. Mungkin dia bukan tipikal ibu-ibu konvensional yang selalu menanyakan pe er anaknya. “Di vocabulary saya, tak ada tuh pertanyaan itu. I trust my children. Mereka bisa komunikasi kapan saja,”kata istri dari Phillip Cheung, seorang warga negara China Amerika, ini. Dia juga bersyukur memiliki suami yang memberikan kebebasan penuh. “Saya melakukan dengan cara saya, dan dia melakukan dengan cara dia, dan kami masing-masing menghomati apa yang sedang kami lakukan.”
Mattheuw menggambarkan ibunya sebagai sosok yang menarik dengan energi meluap-luap. Dia adalah ibu yang sangat mengerti kebutuhan anaknya. “Mei tahun lalu, mama mengajak aku ke Australia untuk membuat sebuah kerjasama bisnis. Di sana aku mengikuti seluruh proses itu. Secara nggak langsung, aku dapat belajar bagaimana memulai sebuah bisnis. Dia juga mengajari aku bagaimana membuat bisnis itu lancar.” Bisnis adalah dunia Christine kini.
“Padahal dulu saya bercita-cita menjadi guru Taman Kanak-Kanak. Saya senang pada anak-anak. Sayangnya, saya tak sabaran. Tapi saya memang ingin mengajar,”katanya. Keinginan itulah yang barangkali sangat mendominasi tipe kepemimpinannya. Sebentar lagi, dia akan mengembangkan sebuah gaya hidup hijau, yang masih dirahasiakan bentuknya. Rupanya dia ingin juga menjadi “guru” lingkungan.
“Posisi sebagai CEO seperti saat ini, jelas sangat membanggakan. Saya masuk ke titik profesional dan saya memberikan yang terbaik untuk orang yang menggaji saya. Tapi, saya ingin juga memberikan yang terbaik sebagai manusia. Untuk manusia. Hopefully,”tukas Christine yang sejak kecil berangan-angan mengelola sebuah panti asuhan setelah dia pensiun kelak. Belakangan keinginan itu bertambah dengan mengelola sebuah perkebunan anggrek. Dia memang selalu merencanakan seluruh hidupnya jauh di waktu silam.
“Inilah harapan saya. Seandainya meninggalkan dunia ini, saya sudah melakukan kepedulian terhadap sesama dan kampanye untuk menyelamatkan dunia. Semoga, ini menjadi sejarah yang baik di masa yang akan datang.” (Rustika Herlambang)
Stylist: Elvara Jandini Subijakto. Busana: Koleksi pribadi. Lokasi: Metro Departement Store, Pondok Indah Mall, Jakarta
Read Full Post »